Kamis, 21 Juli 2011

Negeri di Awan

Oleh: Aldo Sianturi
Share :   
image
(Ilustrasi: Hendra Anthony Rais)
Jakarta - Arsip tersebut saya sebut sebagai ICMS (Indonesia Cloud Music Service). Saya juga menyarankan agar sebaiknya layanan komputasi awan ini dinamakan dalam bahasa Indonesia yaitu INDRA (Indonesia Raya) agar sesuai dengan karakter lagu kebangsaan. Ketersediaan mega konten ini sudah saatnya diperdengarkan lebih bebas di 33 provinsi dan selanjutnya di setiap negara yang memiliki hubungan bilateral dengan Indonesia. Pemikiran ini adalah milik semua aktivis musik yang sampai hari ini tetap konsisten meriset, mempelajari, merunut, mengumpulkan, mempromosikan, mendiskusikan dan mengemukakan materi audio musik yang pernah singgah di telinga dan hati berbagai generasi di zaman yang berbeda. Jumlah aktivis musik ini banyak sekali namun amat disayangkan, mereka tidak pernah didata, diekspos dan dimaksimalkan dalam satu arena produktif.

Selama 20 tahun terakhir, kita lebih sering mendengar umpatan dan ejekan atas karya cipta musik yang dipresentasikan kolosal dibanding memikirkan upaya penyelamatan kebudayaan musik bangsa. Memang menyegarkan mengetahui sisi lain dari pemikiran yang melatari friksi negatif, tapi hal tersebut sangat tidak produktif dan berlangsung begitu lama. Kita melupakan hakikat musik sebagai alat pemersatu bukan pemecah bangsa. Sebagian besar dari kita terlampau nyaman menjadi egois dalam mengapresiasi musik sebagai konsumsi eksklusif bukan lagi sebagai kendaraan komunikasi untuk meng-antisipasi kebutuhan regenerasi.

Sejak aktif di media sosial, kita otomatis menjadi lebih peka terhadap pemikiran luas yang selama ini tidak bisa diakses setiap waktu. Dunia sedang berubah. Kita juga memiliki kesadaran bahwa mata rantai musik Indonesia mengalami kehancuran atas budaya minor pedagang musik yang hanya loyal kepada saldo. Berbagai drama bisnis mendominasi pemberitaan yang menepikan esensi musik yang sebenarnya penting dikonsumsi khalayak ramai. Hasilnya adalah sekarang kita mengalami kelumpuhan komunikasi seni musik yang memiliki detail yang begitu luas.

Kita menyaksikan kaum muda begitu fasih menyebut berbagai nama musisi luar negeri namun sebaliknya mereka kehilangan kata-kata bila dipersilakan menceritakan sejarah musik populer dan non-populer Indonesia. Kaum muda tidak patut disalahkan dan dikucilkan atas hal tersebut. Mereka bukan tidak mau tahu tetapi tidak ada data absolut yang bisa disajikan dan disampaikan setiap saat kepada kaum muda Indonesia yang berjumlah sekitar 65 juta kepala. Bahkan sebagian dari kita hanya sekedar tau nama dan sosok melalui berita acak, rilis media dan obituari yang tersebar di Internet.

Bagi kita yang bermetamorfosis mulai dari anak kecil, remaja, dewasa menyimpan ketidaksiapan jika pada suatu kala keturun-an menanyakan siapa itu God Bless, Kantata Takwa, Panbers, Idris Sardi, Andromeda, Pahama, Franky Sahilatua, Black Fantasy, Dara Puspita, Sweet Martabak bahkan Slank. Kemungkinan besar, kita akan lang-sung mencari dan merespon via mesin pencari Internet. Namun langkah tersebut masih belum sempurna tanpa audio. Karena musik adalah untuk didengar bukan untuk dibaca. Sementara bila mencari album, maka belum tentu tersedia dengan mudah di retail musik atau pasar loak.

Itulah mengapa ide tersebut membuncah agar segera timbul sebuah kesadaran nasional dan terbentuk sebuah locker yang didukung penuh oleh negara Indonesia guna mendefiniskan dan mengaplikasikan kata pelestarian dengan tindakan nyata. Akses saran yang paling realistis untuk menyiapkan strategi konservasi tidak lain adalah melalui komunitas yang sekian lama berfokus penuh kepada pencacahan musik Indonesia, yaitu KPMI (Komunitas Pecinta Musik Indonesia).

Saya menggarisbawahi bahwa bila pemikiran ideal ini direalisasikan, maka sebaiknya tidak menyentuh wilayah komersilisasi konten yang seperti biasa dilakukan pebisnis musik. Dengan adanya layanan akses arsip musik ini, sudah pasti bisa diamplifikasi lebih luas dalam konteks pariwisata sebagai tujuan bangsa lain datang ke sini. Bahkan layanan ini juga menjadi portfolio baru di mata dunia agar Indonesia eksis di perhelatan industri musik dunia seperti Midem, SXSW, Music Matters dan San Fransisco Music Tech. Etalase musik bangsa ini bahkan saya yakini bisa berbuat lebih dari apa yang saya bayangkan sementara.

KOMPUTASI AWAN
Amazon dan Google telah meluncurkan layanan komputasi awan yang bernama Amazon Cloud Drive (ACD) dan Google Music Beta (GMB). Kedua layanan yang memungkinkan orang untuk mengunggah musik favorit di server dan mengalirkan konten tersebut melalui perangkat berbasis web. Meskipun terlihat serupa tapi fitur layanan yang dilepas umum oleh kedua penyelenggara ini memiliki perbedaan dengan ambisi utama yaitu peningkatan penjualan digital musik. Langkah kontroversial yang dilakukan Amazon dan Google secepatnya akan diikuti oleh Apple Inc. Kenapa semua menjadi berbalik dan inilah pertanyaan terbaru?

Bila industri musik tidak bisa memenangkan kasus baru ini, maka sudah pasti perubahan besar akan mengemuka dalam lanskap masalah hukum. Manuver ini menjadi bahasan politis gelanggang bisnis musik yang berasumsi bahwa langkah ini sebagai pelanggaran hak cipta. Sementara, raksasa komputasi awan memiliki argumentasi bah-wa layanan yang diluncurkan secara mekanis dan teknis ini adalah sah. Sinyal yang ditunjukan sejauh ini oleh semua raksasa adalah mereka tidak akan mundur atas perspektif yang dimiliki dan siap mengepung industri musik dengan kekuatan penyanggahan yang dimiliki.

ACD memberikan tempat penyimpanan data online baik musik dan dokumen sebesar 5GB tanpa biaya. Dalam ukuran kasar, kapasitas ini bisa menampung format MP3 sebanyak 1000-2500 lagu. ACD bahkan telah meluncurkan skema baru yaitu memberi tambahan 15GB ruang kosong selama satu tahun kepada semua pengguna yang membeli minimal 1 album MP3. Percobaan gratis sudah dapat dilakukan di ACD, begitu juga dengan layanan Drive dengan membeli musik atau album dari toko Amazon MP3. Sementara untuk memulai layanan GMB agak berbeda, karena harus menunggu diundang namun kapasitas dukungan berjumlah lebih besar yaitu sekitar 20.000 lagu.
GMB tidak dapat digunakan oleh pemilik perangkat Apple, namun layanan Amazon menyediakan sebaliknya. Raksasa e-commerce dan daring ini melakukan spekulasi ajaib yang sama yaitu meluncurkan layanan musik tanpa legalisasi status lisensi yang legitimatif dari perusahaan rekaman. Pukulan maut ini dilakukan oleh para raksasa cyber yang memiliki bobot finansial dan teknologi yang jauh melebihi apa yang dimiliki industri musik. Layanan ini dipersiapkan untuk skala global, namun kita yang berada di Indonesia belum bisa menikmati pelayanan ini.

Bagi pelanggan Telkomsel dan Telkom Flexi, masih ada pilihan yang bisa dinikmati dalam basis komersial yaitu MelOn Indonesia. Penyedia download yang dimiliki Telkom dan SK Telecom (Korea Selatan) membidik pengguna ponsel cerdas berbasis BlackBerry dan Android. Indonesia memiliki potensi penjualan musik digital yang sehat. Gugusan data konsumer yang diakses oleh dunia membuat pebisnis layanan dowload dari berbagai benua semakin agresif mendekati telco dan pemerintah.

Dalam perspektif penikmat musik, peluncuran locker ini disambut baik tanpa menghiraukan perseteruan klasik setiap pihak penyelenggara layanan. Sebelum lebih jauh kepada manifestasi komputasi musik, secara sederhana komputasi awan adalah eksploitasi metode komputasi dan penyimpanan yang tidak lagi dilakukan secara lokal oleh komputer tunggal. Komputasi dan penyimpanan data bisa dilakukan di sebuah area yang kita sendiri tidak tahu persisnya ada di mana atau lebih tepatnya di awan Internet. Sumber daya komputasi dan penyimpan dapat dioperasikan melalui sebuah server komputasi awan.

Metode ini memudahkan setiap individu menggunakan aplikasi untuk menikmati konten musik tanpa harus menyimpan data yang semakin lama tidak tertampung lagi pada personal drive yang dimiliki. Teknologi ini mengubah aktivitas konsumen dari pengoleksi aktif menjadi penyewa data tanpa melupakan faktor sinkronisasi yang kompatibel atas setiap perangkat pendukung. Secara sinambung layanan ‘rentalship’ ini pasti akan diimprovisasi sesuai dengan dinamika kebutuhan pengguna. Episode menarik ini juga menyentuh keberadaan ide ICMS (Indonesia Cloud Music Service) yang menjadi cerita utama tulisan ini.

Banyak yang secara instan meragukan bentuk pemikiran layanan arsip musik nasional dalam format komputasi awan tidak akan mudah direalisasikan bila tidak direstui oleh perusahaan rekaman dan penerbit musik. Jawaban dari keraguan tersebut adalah dua hal, yaitu tidak dan bisa berhasil. Semua akan tergantung dari investasi presentasi, kampanye dan pendekatan common sense yang dilakukan dalam skala kolosal. Layanan ini bisa tersajikan dengan baik bilamana diproteksi penuh oleh negara sebagai langkah membangun peradaban sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa atas kekayaan intelektual yang dimiliki Indonesia.

Lepas dari simpang siur pemikiran atas komputasi awan, menurut hemat saya negara harus bergerak supercepat untuk mengalokasikan multi-capital dalam membenahi mata rantai musik Indonesia yang tidak tersusun dan terakses dengan baik selama ini. Dengan transparansi kemajuan yang bisa diikuti dan dipertanggungjawabkan melalui medium Internet, maka setiap musisi akan memahami dan mendorong para pengontrol rekaman musik memberikan legitimasi konten untuk diperdengarkan dengan bebas. Mungkin kita terlalu sibuk, tetapi Katon Bagaskara sebenarnya sudah memiliki visi atas komputasi awan sejak lagu “Negeri Di Awan” diperkenalkan kepada Indonesia. Kita memang terlampau cuek.

Arsip Blog