Jumat, 15 Juli 2011

Suguhan Musik Etnik di Jazz Gunung 2011


Suguhan Musik Etnik di Jazz Gunung 2011
Kolaborasi Gamelan Perkusi di Jazz Gunung 2011. Foto: Fajar Adhityo


Minggu, 10 Juli 2011 17:01 | Tag: Konser 2011
Kapanlagi.com - Musik etnik bercita rasa nusantara masih menjadi suguhan utama dalam perhelatan Jazz Gunung 2011 di Java Banana Bromo, Lodge, Cafe & Gallery, Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu (09/07). Gelaran yang memasuki tahun ketiga pelaksanaannya ini memang punya konsep unik sebagai sebuah perhelatan jazz. Pasalnya selain menyuguhkan panorama indah Gunung Bromo sebagai panggungya, Jazz Gunung mencekoki jazz lover dari penjuru Indonesia dengan musik jazz etnik.Empat penampil dalam gelaran ini memasukkan unsur etnik sehingga musik yang mereka sajikan menjadi sangat kaya dan tentunya akrab di telinga penonton yang didominasi oleh orang Indonesia, meski ada beberapa wisatawan asing yang turut datang dan menikmati sajian musik etnik ini. Para penampil tersebut adalah Kolaborasi Gamelan Perkusi asal Probolinggo, Perkusi Kramat Madura asal Sumenep, Tohpati and The Ethnomission, dan yang tak pernah ketinggalan dalam gelaran Jazz Gunung, Kua Etnika pimpinan Djaduk Ferianto. Dengan menggunakan instrumen khas Indonesia, yakni gamelan, kendang, seruling, empat penampil tersebut membuat panggung Java Banana menjadi hangat serta bersemangat dengan cara mereka yang berbeda-beda.
Sekitar pukul 2 lebih, seperti yang dijadwalkan, acara dibuka dengan atraksi kesenian Ponorogo, Reog Jathilan di pelataran luar Java Banana. Pertunjukan kesenian tradisional ini menarik perhatian para pengunjung yang hampir seperemapatnya rela meninggalkan tempat duduk di depan venue untuk melihat di pelataran. Belum habis kekaguman penonton, dari dalam venue terdengar musik gandrung sebagai pembuka gelaran, disambut dengan tepuk tangan penonton yang sudah tak sabar menikmati musik-musik jazz etnik dari Kolaborasi Gamelan Perkusi ini.

Kolaborasi Gamelan Perkusi bermain musik sembari lesehan
Sembari duduk lesehan di sisi kiri panggung, kelompok gandrung asal Probolinggo ini menyanyikan lagu-lagu berbahasa Jawa Osing. Tempo cepat gamelan dan kendang yang mereka mainkan sedikit demi sedikit memanaskan telinga para penonton sebelum nantinya menikmati suguhan musik jazz dari 'para dewa' musik jazz etnik Indonesia, seperti Tohpati dan Djaduk. Selain menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Jawa, kelompok ini menggarap lagu Maluku, Rame-rame dengan sentuhan musik gandrung mereka, sebuah karya yang unik untuk dinikmati. Unsur etnik tak hanya nampak dari musik yang mereka bawakan namun juga dari pakaian yang mereka kenakan.
Masih dari seniman lokal, Perkusi Kramat Madura langsung menyambung alur pertunjukan dengan membawakan lagu-lagu berbahasa Madura dan iringan musik perkusi seperti layaknya orang sedang patrol sahur saat Ramadhan, rancak dan bersemangat. Beberapa lagu yang mereka bawakan antara lain Manten, Jubing Masola dan Sellok Madureh yang punya arti cincin Madura. Yang unik, dalam musik yang mereka mainkan ini ada sedikit sentuhan drum band dengan adanya suara bass drum dan terompet.

Perkusi Kramat Madura, suguhkan musik rancak dalam bahasa Madura
Di sela-sela permainan musik mereka, tak jarang leader Perkusi Kramat ini berkelakar dengan para penonton, seperti saat ia menanggapi tepuk tangan penonton. "Saya heran, penonton ini tepuk tangan karena mengerti atau cuma tepuk tangan?" ujarnya. Pertanyaan tersebut muncul lantaran memang semua lagu yang mereka mainkan dinyanyikan dalam bahasa Madura. Keheranannya tersebut malah makin memancing tawa dan tepuk tangan penonton. "Selamat untuk tidak mengerti kalau begitu," imbuhnya kemudian. Tampil dalam formasi barisan, kelompok ini menyuguhkan musik berkualitas lainnya dalam Jazz Gunung 2011 ini.
Menjelang senja, nama yang sudah tak asing lagi bagi pecinta jazz, Tohpati masuk venue dengan bandnya, Tohpati and The Ethnomission. Tanpa banyak bicara gitaris berkacamata ini memainkan musik dari album mereka, Save The Planet. Dalam Jazz Gunung ini, Dhemas Nawangsa, sang drummer berhalangan hadir dan posisinya digantikan oleh Echa Soemantri. Namun hal tersebut tak mengurangi chemistry antara Indro (bass), Dicky (seruling), Endang (kendang), dan Tohpati sendiri. Sosok gitaris rendah hati ini bahkan memuji penampilan rekan-rekannya tersebut dan berujar bahwa permainan gitarnya tak akan indah tanpa iringan musik rekannya.
Berlima mereka membuat penonton berdecak kagum lewat lagu mereka seperti di antaranya Janger dan Perang Tanding, dimana Echa dan Endang 'berperang' mempertunjukkan skill dan kepekaan ritmis mereka dalam menggebuk drum atau memukul kendang. Yang pasti, permainan speed Tohpati dalam mengocok gitar patut mendapatkan standing ovation.

Menyambut senja bersama Tohpati and The Ethnomission
Hari sudah mulai gelap dan hawa terasa dingin menusuk, Tohpati yang sedari tampil terus melirik jam tangannya bersiap menutup penampilannya sore hari tersebut. Bukan karena tak ingin terus menghibur penonton, namun ia jujur mengaku bahwa dinginnya hawa Bromo kala malam membuatnya kesulitan memainkan gitar. "Sudah makin dingin, harus segera selesai ini. Biarin band abis saya kedinginan," kelakarnya yang disambut tawa penonton. Penampilan Tohpati pada malam itu ditutup dengan lagu Bedhaya Ketawang yang bertempo lambat dengan musik yang membius lantaran bercerita tentang tarian Keraton.    (kpl/dka)

Arsip Blog